Kamis, 30 Juli 2009

Jejak Kegemilangan Khilafah Islam

Artikel Islami
06 April 2009 - 03:43
JEJAK KEGEMILANGAN UMAT ISLAM DALAM PENTAS SEJARAH DUNIA
Oleh: Ir. H. Budi Suherdiman Januardi, MM.

Sejarah perjuangan umat Islam dalam pentas peradaban dunia berlangsung sangat lama sekira 13 abad, yaitu sejak masa kepemimpinan Rasulullah Saw di Madienah (622-632M); Masa Daulat Khulafaur Rasyidin (632-661M); Masa Daulat Umayyah (661-750M) dan Masa Daulat Abbasiyah (750-1258 M) sampai tumbangnya Kekhilafahan Turki Utsmani pada tanggal 28 Rajab tahun 1342 H atau bertepatan dengan tanggal 3 Maret 1924 M, dimana masa-masa kejayaan dan puncak keemasannya banyak melahirkan banyak ilmuwan muslim berkaliber internasional yang telah menorehkan karya-karya luar biasa dan bermanfaat bagi umat manusia yang terjadi selama kurang lebih 700 tahun, dimulai dari abad 6 M sampai dengan abad 12 M. Pada masa tersebut, kendali peradaban dunia berada pada tangan umat Islam.

Pada saat berjayanya peradaban Islam semangat pencarian ilmu sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Semangat pencarian ilmu yang berkembang menjadi tradisi intelektual secara historis dimulai dari pemahaman (tafaqquh) terhadap al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw yang kemudian dipahami, ditafsirkan dan dikembangkan oleh para sahabat, tabiin, tabi' tabiin dan para ulama yang datang kemudian dengan merujuk pada Sunnah Nabi Muhammad saw.

ERA RASULULLOH SAW (622-632M) DAN PERIODE DAULAT KHULAFAUR RASYIDIN (632-661 M)

Kesuksesan Rasulullah Muhammad Saw dalam membangun peradaban Islam yang tiada taranya dalam sejarah dicapai dalam kurun waktu 23 tahun, 13 tahun langkah persiapan pada periode Makkah (Makiyyah) dan 10 tahun periode Madienah (Madaniyah). Periode 23 tahun merupakan rentang waktu kurang dari satu generasi, dimana beliau Saw telah berhasil memegang kendali kekuasaan atas bangsa-bangsa yang lebih tua peradabannya saat itu khususnya Romawi, Persia dan Mesir.

Seorang ahli pikir Perancis bernama Dr. Gustave Le Bone mengatakan:
“Dalam satu abad atau 3 keturunan, tidak ada bangsa-bangsa manusia dapat mengadakan perubahan yang berarti. Bangsa Perancis memerlukan 30 keturunan atau 1000 tahun baru dapat mengadakan suatu masyarakat yang bercelup Perancis. Hal ini terdapat pada seluruh bangsa dan umat, tak terkecuali selain dari umat Islam, sebab Muhammad El-Rasul sudah dapat mengadakan suatu masyarakat baru dalam tempo satu keturunan (23 tahun) yang tidak dapat ditiru atau diperbuat oleh orang lain”.

Masa kerasulan Muhammad Saw pada akhir periode Madienah merupakan puncak (kulminasi) peradaban Islam, karena disitulah sistem Islam disempurnakan dan ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (QS. Al-Maidah ayat 3).

Generasi masa itu merupakan generasi terbaik sebagaimana firman Alloh Swt:“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Alloh”. (QS. Ali Imran ayat 110).

PERIODE DAULAT UMAYYAH (661-750M)
Masa Kedaulatan Umayyah berlangsung selama lebih kurang 90 tahun. Beberapa orang Khalifah besar Bani Umayyah ini adalah Muawiyah bin Abi Sufyan (661-680 M), Abdul Malik bin Marwan (685- 705 M), Al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M), Umar bin Abdul Aziz (717- 720 M) dan Hasyim bin Abdul Malik (724- 743 M).

Awal berlangsungya periode Daulat Umayyah lebih memprioritaskan pada perluasan wilayah kekuasaan. Ekspansi wilayah yang sempat terhenti pada masa Khalifah Utsman dan Khalifah Ali dilanjutkan kembali oleh Daulat Umayyah. Pada zaman Muawiyah, Tunisia ditaklukkan. Di sebelah Timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abdul Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.

Ekspansi ke Barat secara besar-besaran dilanjutkan pada zaman Al-Walid bin Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban, dimana umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun, tercatat bahwa pada tahun 711 M merupakan suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah Barat Daya, benua Eropa. Setelah Al-Jazair dan Marokko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, panglima pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordova, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Sevi'e, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordova. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Pada zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah Al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, Al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah.

Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.

Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Pada bidang pengembangan keilmuan, Daulat Umayyah mengawalinya dengan mengeluarkan sebuah kebijakan startegis. Adalah Khalifah Abdul Malik (685-705M) merupakan Khalifah pertama yang berhasil melakukan berbagi pembenahan administrasi pemerintahan dimana beliau memerintahkan penggunaan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan dan kenegaraan di seluruh wilayah Islam yang membentang dari Pegunungan Thian Shan di sebelah Timur sampai Pegunungan Pyrenees di Sebelah Barat termasuk dalam berbagai administrasi kenegaraan lainnya yang pada perkembangan selanjutnya Bahasa Arab menjadi bahasa umum sebagai bahasa pengantar dunia (lingua franca), juga menjadi bahasa diplomatik antar Bangsa diantara Barat dan Timur bahkan berkembang menjadi bahasa ilmiah sampai kepada zaman renaissance, hingga Roger Bacon (1214-1294 M) dari Oxford ahli pikir Inggeris terbesar itu, menurut Ecyclopedia Britanica, 1951, volume II, halaman 191-197, mendorong sedemikian rupa untuk mempelajari Bahasa Arab guna memperoleh pengetahuan yang sangat murni, yang menyatakan bahwa: “Roger Bacon, placing Averroes beside Aristole and Avicenna, recomends the study of Arabic as the only way of getting the knowledge which bad versions obscured”, yakni “menganjurkan mempelajari Bahasa Arab sebagai jalan satu-satunya bagi memperoleh ilmu yang telah dikaburkan oleh versi-versi yang jelek” sebelumnya.

Kemajuan tradisi intelektual dan ilmu pengetahuan pada zaman Daulat Umayyah di Andalusia dirasakan oleh masyarakat Eropa. Oliver Leaman menggambarkan kondisi kehidupan intelektual di sana sebagai berikut:

“….pada masa peradaban agung [wujud] di Andalus, siapapun di Eropa yang ingin mengetahui sesuatu yang ilmiyah ia harus pergi ke Andalus. Di waktu itu banyak sekali problem dalam literatur Latin yang masih belum terselesaikan, dan jika seseorang pergi ke Andalus maka sekembalinya dari sana ia tiba-tiba mampu menyelesaikan masalah-masalah itu. Jadi Islam di Spanyol mempunyai reputasi selama ratusan tahun dan menduduki puncak tertinggi dalam pengetahuan filsafat, sains, tehnik dan matematika. Ia mirip seperti posisi Amerika saat ini, dimana beberapa universitas penting berada”.

Pada bidang lainnya, pembangunan yang dilakukan Muawiyah diantaranya mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri. Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Khalifah Abdul Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Keberhasilan Khalifah Abdul Malik diikuti oleh puteranya Al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.

Pada lapangan perdagangan yakni pada saat peradaban Islam telah menguasai dunia perdagangan sejak permulaan Daulat Umayyah (661-750M), dimana pesisir lautan Hindia sampai ke Lembah Sind, sehingga terjalin kesatuan wilayah yang luas dari Timur sampai Barat yang berimplikasi terhadap lancarnya lalu-lintas dagang di dataran antara Tiongkok dengan dunia belahan Barat pegunungan Thian Shan melalui Jalan Sutera (Silk Road) yang terkenal itu, yang kemudian terbuka pula jalur perdagangan melalui Teluk Parsi, Teluk Aden yang menghubungkannya dengan kota-kota dagang di sepanjang pesisir Benua Eropa, menyebabkan “kebutuhan Eropa pada saat itu amat tergantung pada kegiatan dagang di dalam wilayah Islam”.

PERIODE DAULAT ABBASIYAH (132H/750M s.d. 656H/1258 M)
Masa Kedaulatan Abbasiyah berlangsung selama 508 tahun, sebuah rentang sejarah yang cukup lama dalam sebuah peradaban. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode: (1) Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama; (2) Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut pereode pengaruh Turki pertama; (3) Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua; (4) Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua; (5) Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.

Tidak seperti pada periode Umayyah, Periode pertama Daulat Abbasiyah lebih memprioritaskan pada penekanan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Fakta sejarah mencatat bahwa masa Kedaulatan Abbasiyah merupakan pencapaian cemerlang di dunia Islam pada bidang sains, teknologi dan filsafat. Pada saat itu dua pertiga bagian dunia dikuasai oleh Kekhilafahan Islam.

Masa sepuluh Khalifah pertama dari Daulat Abbasiyah merupakan masa kejayaan (keemasan) peradaban Islam, dimana Baghdad mengalami kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat. Secara politis, para khalifah betul-betul merupakan tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.

Pada masa sepuluh Khalifah pertama itu, puncak pencapaian kemajuan peradaban Islam terjadi pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid (786-809 M). Harun Al-Rasyid adalah figur khalifah shaleh ahli ibadah; senang bershadaqah; sangat mencintai ilmu sekaligus mencintai para ‘ulama; senang dikritik serta sangat merindukan nasihat terutama dari para ‘ulama. Pada masa pemerintahannya dilakukan sebuah gerakan penerjemahan berbagai buku Yunani dengan menggaji para penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lainnya yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, yang salah satu karya besarnya adalah pembangunan Baitul Hikmah, sebagai pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.

Harun Al-Rasyid juga menggunakan kekayaan yang banyak untuk dimanfaatkan bagi keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat yang tak tertandingi.

Terjadinya perkembangan lembaga pendidikan pada masa Harun Al Rasyid mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan.

Pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama juga lahir para imam mazhab hukum yang empat hidup Imam Abu Hanifah (700-767 M); Imam Malik (713-795 M); Imam Syafi'i (767-820 M) dan Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M).

Pencapaian kemajuan dunia Islam pada bidang ilmu pengetahuan tersebut tidak terlepas dari adanya sikap terbuka dari pemerintahan Islam pada saat itu terhadap berbagai budaya dari bangsa-bangsa sebelumnya seperti Yunani, Persia, India dan yang lainnya. Gerakan penterjemahan yang dilakukan sejak Khalifah Al-Mansur (745-775 M) hingga Harun Al-Rasyid berimplikasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, farmasi, biologi, fisika dan sejarah.

Menurut Demitri Gutas proses penterjemahan di zaman Abbasiyah didorong oleh motif sosial, politik dan intelektual. Ini berarti bahwa para pihak baik dari unsur masyarakat, elit penguasa, pengusaha dan cendekiawan terlibat dalam proses ini, sehingga dampaknya secara kultural sangat besar.

Gerakan penerjemahan pada zaman itu kemudian diikuti oleh suatu periode kreativitas besar, karena generasi baru para ilmuwan dan ahli pikir muslim yang terpelajar itu kemudian membangun dengan ilmu pengetahuan yang diperolehnya untuk mengkontribusikannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Menurut Marshall, proses pengislaman tradisi-tradisi itu telah berbuat lebih jauh dari sekadar mengintegrasikan dan memperbaiki, hal itu telah menghasilkan energi kreatif yang luar biasa. Menurutnya, periode kekhalifahan dalam sejarah Islam merupakan periode pengembangan di bidang ilmu, pengetahuan dan kebudayaan, dimana pada zaman itu telah melahirkan tokoh-tokoh besar di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Farabi. Berbagai pusat pendidikan tempat menuntut ilmu dengan perpustakaan-perpustakaan besar bermunculan di Cordova, Palermo, Nisyapur, Kairo, Baghdad, Damaskus, dan Bukhara, dimana pada saat yang sama telah mengungguli Eropa yang tenggelam dalam kegelapan selama berabad-abad. Kehidupan kebudayaan dan politik baik dari kalangan orang Islam maupun non-muslim pada zaman kekhilafahan dilakukan dalam kerangka Islam dan bahasa Arab, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan agama dan suku yang plural.

Pada saat itu umat Islam telah berhasil melakukan sebuah akselerasi, jauh meninggalkan peradaban yang ada pada saat itu. Hidupnya tradisi keilmuan, tradisi intelektual melalui gerakan penerjamahan yang kemudian dilanjutkan dengan gerakan penyelidikan yang didukung oleh kuatnya elaborasi dan spirit pencarian, pengembangan ilmu pengetahuan yang berkembang secara pesat tersebut, mengakibatkan terjadinya lompatan kemajuan di berbagai bidang keilmuan yang telah melahirkan berbagai karya ilmiah yang luar biasa.
Menurut Oliver Leaman proses penterjemahan yang dilakukan ilmuwan muslim tidak hanya menterjemahkan karya-karya Yunani secara ansich, tetapi juga mengkaji teks-teks itu, memberi komentar, memodifikasi dan mengasimilasikannya dengan ajaran Islam. Proses asimilasi tersebut menurut Thomas Brown terjadi ketika peradaban Islam telah kokoh. Sains, filsafat dan kedoketeran Yunani diadapsi sehingga masuk kedalam lingkungan pandangan hidup Islam. Proses ini menggambarkan betapa tingginya tingkat kreativitas ilmuwan muslim sehingga dari proses tersebut telah melahirkan pemikiran baru yang berbeda sama sekali dari pemikiran Yunani dan bahkan boleh jadi asing bagi pemikiran Yunani.

Pada masa-masa permulaan perkembangan kekuasaan, Islam telah memberikan kontribusi kepada dunia berupa tiga jenis alat penting yaitu paper (kertas), compass (kompas) and gunpowder (mesiu). Penemuan alat cetak (movable types) di Tiongkok pada penghujung abad ke-8 M dan penemuan alat cetak serupa di Barat pada pertengahan abad 15 oleh Johann Gutenberg, menurut buku Historians’ History of the World, akan tidak ada arti dan gunanya jika Bangsa Arab tidak menemukan lebih dahulu cara-cara bagi pembuatan kertas.

Pencapaian prestasi yang gemilang sebagai implikasi dari gerakan terjemahan yang dilakukan pada zaman Daulat Abbasiah sangat jelas terlihat pada lahirnya para ilmuwan muslim yang mashur dan berkaliber internasional seperti : Al-Biruni (fisika, kedokteran); Jabir bin Hayyan (Geber) pada ilmu kimia; Al-Khawarizmi (Algorism) pada ilmu matematika; Al-Kindi (filsafat); Al-Farazi, Al-Fargani, Al-Bitruji (astronomi); Abu Ali Al-Hasan bin Haythami pada bidang teknik dan optik; Ibnu Sina (Avicenna) yang dikenal dengan Bapak Ilmu Kedokteran Modern; Ibnu Rusyd (Averroes) pada bidang filsafat; Ibnu Khaldun (sejarah, sosiologi). Mereka telah meletakkan dasar pada berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Beberapa ilmuwan muslim lainnya pada masa Daulat Abbasiyah yang karyanya diakui dunia diantaranya:
• Al-Razi (guru Ibnu Sina), berkarya dibidang kimia dan kedokteran, menghasilkan 224 judul buku, 140 buku tentang pengobatan, diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Bukunya yang paling masyhur adalah Al-Hawi Fi ‘Ilm At Tadawi (30 jilid, berisi tentang jenis-jenis penyakit dan upaya penyembuhannya). Buku-bukunya menjadi bahan rujukan serta panduan dokter di seluruh Eropa hingga abad 17. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibnu Sina;
• Al-Battani (Al-Batenius), seorang astronom. Hasil perhitungannya tentang bumi mengelilingi pusat tata surya dalam waktu 365 hari, 5 jam, 46 menit, 24 detik, mendekati akurat. Buku yang paling terkenal adalah Kitab Al Zij dalam bahasa latin: De Scienta Stellerum u De Numeris Stellerumet Motibus, dimana
terjemahan tertua dari karyanya masih ada di Vatikan;
• Al Ya’qubi, seorang ahli geografi, sejarawan dan pengembara. Buku tertua dalam sejarah ilmu geografi berjudul Al Buldan (891), yang diterbitkan kembali oleh Belanda dengan judul Ibn Waddih qui dicitur al-Ya’qubi historiae;
• Al Buzjani (Abul Wafa). Ia mengembangkan beberapa teori penting di bidang matematika (geometri dan trigonometri).

Sejarah telah membuktikan bahwa kontribusi Islam pada kemajuan ilmu pengetahuan di dunia modern menjadi fakta sejarah yang tak terbantahkan. Bahkan bermula dari dunia Islamlah ilmu pengetahuan mengalami transmisi (penyebaran, penularan), diseminasi dan proliferasi (pengembangan) ke dunia Barat yang sebelumnya diliputi oleh masa ‘the Dark Ages’ mendorong munculnya zaman renaissance atau enlightenment (pencerahan) di Eropa.

Melalui dunia Islam-lah mereka mendapat akses untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan modern. Menurut George Barton, ketika dunia Barat sudah cukup masak untuk merasakan perlunya ilmu pengetahuan yang lebih dalam, perhatiannya pertama-tama tidak ditujukan kepada sumber-sumber Yunani, melainkan kepada sumber-sumber Arab.

Sebelum Islam datang, menurut Gustav Le Bon, Eropa berada dalam kondisi kegelapan, tak satupun bidang ilmu yang maju bahkan lebih percaya pada tahayul. Sebuah kisah menarik terjadi pada zaman Daulat Abbasiah saat kepemimpinan Harun Al-Rasyid, tatkala beliau mengirimkan jam sebagai hadiah pada Charlemagne seorang penguasa di Eropa. Penunjuk waktu yang setiap jamnya berbunyi itu oleh pihak Uskup dan para Rahib disangka bahwa di dalam jam itu ada jinnya sehingga mereka merasa ketakutan, karena dianggap sebagai benda sihir. Pada masa itu dan masa-masa berikutnya, baik di belahan Timur Kristen maupun di belahan Barat Kristen masih mempergunakan jam pasir sebagai penentuan waktu.

Bagaimana kondisi kegelapan Eropa pada zaman pertengahan (Abad 9 M) bukan hanya pada aspek mental-dimana cenderung bersifat takhayul, demikian pula halnya dalam aspek fisik material. Hal ini sebagaimana digambarkan oleh William Drapper:

“Pada zaman itu Ibu Kota pemerintahan Islam di Cordova merupakan kota paling beradab di Eropa, 113.000 buah rumah, 21 kota satelit, 70 perpustakaan dan toko-toko buku, masjid-masjid dan istana yang banyak. Cordova menjadi mashur di seluruh dunia, dimana jalan yang panjangnya bermil-mil dan telah dikeraskan diterangi dengan lampu-lampu dari rumah-rumah di tepinya. Sementara kondisi di London 7 abad sesudah itu (yakni abad 15 M), satu lampu umumpun tidak ada. Di Paris berabad-abad sesudah zaman Cordova, orang yang melangkahi ambang pintunya pada saat hujan, melangkah sampai mata kakinya ke dalam lumpur”.

Menurut Philip K. Hitti, jarak peradaban antara kaum muslimin di bawah kepemimpinan Harun Al-Rasyid jauh melampaui peradaban yang ada pada orang-orang Kristen pimpinan Charlemagne.

Pertengahan abad 9 M peradaban Islam telah meliputi seluruh Spanyol. Masuknya Islam ke Spanyol yaitu setelah Abdur Rahman ad-Dakhil (756 M) berhasil membangun pemerintahan yang berpusat di Andalusia.

Melalui Spanyol, Sicilia dan Perancis Selatan yang berada langsung di bawah pemerintahan Islam, peradaban Islam memasuki Eropa. Bahasa Arab menjadi bahasa internasional yang digunakan berbagai suku bangsa di berbagai negeri di dunia. Baghdad di Timur dan Cordova di Barat, dua kota raksasa Islam menerangi dunia dengan cahaya gilang-gemilang. Sekitar tahun 830 M, Alfonsi-Raja Asturia telah mendatangkan dua sarjana Islam untuk mendidik ahli warisnya. Sekolah Tinggi Kedokteran yang didirikan di Perancis (di Montpellier) dibina oleh beberapa orang Mahaguru dari Andalusia. Keunggulan ilmiah kaum muslimin tersebar jauh memasuki Eropa dan menarik kaum intelektual dan bangsawan Barat ke negeri-negeri pusatnya. Diantara mereka terdapat Roger Bacon (Inggeris); Gerbert d’Aurillac yang kemudian menjadi Paus Perancis pertama dengan gelar Sylvester II, selama 3 tahun tinggal di Todelo mempelajari ilmu matematika, astronomi, kimia dan ilmu lainnya dari para sarjana Islam.

Tidaklah mengherankan, karena pada saat kekhilafahan Islam berkuasa saat itu Spanyol menjadi pusat pembelajaran (centre of learning) bagi masyarakat Eropa dengan adanya Universitas Cordova. Di Andalusia itulah mereka banyak menimba ilmu, dan dari negeri tersebut muncul nama-nama ‘ulama besar seperti Imam Asy-Syathibi pengarang kitab Al-Muwafaqat, sebuah kitab tentang Ushul Fiqh yang sangat berpengaruh; Ibnu Hazm Al-Andalusi pengarang kitab Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal, sebuah kitab tentang perbandingan sekte dan agama-agama dunia, dimana bukti tersebut telah mengilhami penulis-penulis Barat untuk melakukan hal yang sama.

Di Andalusia (Spanyol bagian Selatan), berbagai universitasnya pada saat itu dipenuhi oleh banyak mahasiswa Katolik dari Perancis, Inggeris, Jerman dan Italia. Pada masa itu, para pemuda Kristen dari berbagai negara di Eropa dikirim berbondong-bondong ke sejumlah perguruan tinggi di Andalusia guna menimba ilmu pengetahuan dan teknologi dari para ilmuwan muslim. Adalah Gerard dari Cremona; Campanus dari Navarra; Aberald dari Bath; Albert dan Daniel dari Morley yang telah menimba ilmu demikian banyak dari para ilmuwan muslim, untuk kemudian pulang dan menggunakannya secara efektif bagi penelitian dan pengembangan di masing-masing bangsanya. Dari sini kemudian sebuah revolusi pemikiran dan kebudayaan telah pecah dan menyebarluas ke seluruh masyarakat dan seluruh benua. Para pemuda Kristen yang sebelumnya telah banyak belajar dari para ilmuwan muslim, telah berhasil melakukan sebuah transformasi nilai-nilai yang unggul dari peradaban Islam yang kemudian diimplementasikan pada peradaban mereka (Barat) yang selanjutnya berimplikasi terhadap kemajuan diberbagai bidang ilmu pengetahuan.

Semaraknya pengembangan ilmu dan pengetahuan di dunia Islam diindikasikan dengan banyaknya perpustakaan tersebar di kota-kota dan negeri-negeri Islam yang jumlahnya sangat fantastis. Sejarah mencatat, perpustakaan di Cordova pada abad 10 Masehi mempunyai 600.000 jilid buku. Perpustakaan Darul Hikmah di Cairo mempunyai 2.000.000 jilid buku. Perpustakaan Al Hakim di Andalusia mempunyai berbagai buku dalam 40 kamar yang setiap kamarnya berisi 18.000 jilid buku. Perpustakaan Abudal Daulah di Shiros (Iran Selatan) buku-bukunya memenuhi 360 kamar. Sementara ratusan tahun sesudahnya (abad 15 M), menurut catatan Catholik Encyclopedia, perpustakaan Gereja Canterbury yang merupakan perpustakaan dunia Barat yang paling kaya saat jumlah bukunya tidak melebihi 1.800 jilid buku.

Sejarah juga mencatat bahwa Uskup Agung Raymond di Spanyol mendirikan Badan Penterjemah di Todelo yang ditujukan guna menterjemahkan sebagian besar karangan sarjana-sarjana Muslim tentang ilmu pasti, astronomi, kimia, kedokteran, filsafat, dll, dimana waktu yang dibutuhkan untuk menterjemahkannya yaitu lebih dari satu setengah abad (1135-1284 M).

Dari pusat-pusat peradaban Islam yang meliputi Baghdad, Damaskus, Cordova, Sevilla, Granada dan Istanbul, telah memancarkan sinar gemerlap yang menerangi seluruh penjuru dunia terlebih Cordova, Sevilla, Granada yang merupakan bagian dari kekuasaan Islam di Spanyol telah banyak memberikan kontribusi besar terhadap tumbuh dan berkembangnya peradaban modern di dunia Barat.

PERIODE SETELAH DAULAT ABBASIYAH SAMPAI TUMBANGNYA KEKHILAFAHAN TURKI UTSMANI
Pada masa Khilafah Utsmani, para ahli sejarah sepakat bahwa zaman Khalifah Sulaiman Al-Qanuni (1520-1566 M) merupakan zaman kejayaan dan kebesaran yang pada masanya telah jauh meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains dan politik.

Pasca berakhirnya keluasaan Daulat Abbasiyah, kepemimpinan Islam berlanjut dengan kepemimpinan Daulat Utsmaniyah. Daulat Utsmaniyah yang juga dikenal dengan sebutan Kesultanan atau Kekaisaran Turki Ottoman, didirikan oleh Bani Utsman, yang selama lebih dari enam abad kekuasaannya (1299 s.d. 1923) dipimpin oleh 36 orang sultan, sebelum akhirnya runtuh dan terpecah menjadi beberapa negara kecil.

Kesultanan ini menjadi pusat interaksi antar Barat dan Timur selama enam abad. Pada puncak kekuasaannya, Kesultanan Utsmaniyah terbagi menjadi 29 propinsi dengan Konstantinopel (sekarang Istambul) sebagai ibukotanya. Pada abad ke-16 dan ke-17, Kesultanan Usmaniyah menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan angkatan lautnya yang kuat. Kekuatan Kesultanan Usmaniyah terkikis secara perlahan-lahan pada abad ke-19, sampai akhirnya benar-benar runtuh pada abad 20. Musuh-musuh Islam membutuhkan waktu selama satu abad untuk melepaskan ikatan ideologi Islam dari tubuh umat Islam, yang pada akhirnya tanggal 3 Maret 1924 M yang bertepatan dengan tanggal 28 Rajab 1342 Hijriah, melalui Mustafa Kemal Attaturk yang merupakan agen Inggris dan anggota Freemasonry (sebuah organisasi Yahudi), membubarkan institusi Kekhilafahan Islam terakhir di Turki dan menggantikannya dengan Republik Turki. Maka, sejak saat itu ideologi Islam benar-benar terkubur ditandai dengan dihilangkannya institusi khilafah oleh majelis nasional Turki dan diusirnya Khalifah terakhir.

BEBERAPA CATATAN PENTING
Menyimak betapa besar kontribusi Islam terhadap lahirnya peradaban Islam berskala dunia terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, sesungguhnya kemajuan yang dicapai Barat pada mulanya bersumber dari peradaban Islam. Dunia Barat sekarang sejatinya berterima kasih kepada umat Islam. Akan tetapi pada kenyataannya pihak Barat (non Muslim) telah sengaja menutup-nutupi peran besar atas jasa para pejuang dan ilmuwan muslim tersebut yang pada akhirnya terabaikan bahkan sampai terlupakan. Oleh karena itu, umat Islam perlu kembali menggelorakan semangat keilmuan para ilmuwan muslim atas sumbangsihnya yang amat besar bagi peradaban umat manusia di dunia dalam menyongsong kembali kejayaan Islam dan umatnya.

Kita dapat menyimak, bahwa puncak pencapaian penguasaan sains dan teknologi pada zaman kejayaan umat Islam masa lalu terkait erat dengan tegaknya sistem kekhilafahan, dimana adanya sistem komando yang terintegrasi secara global yang peranan secara politik sejalan dengan peranan agama. Kita juga mendapatkan gambaran dalam sejarah bahwa sosok para pemimpin terdahulu yang shaleh selain sebagai seorang negarawan yang handal dan mumpuni, juga sebagai seorang ‘ulama wara’ yang takut pada Rabb-nya, mencintai ilmu serta mencintai rakyatnya. Pada aspek ini kita bisa melihat adanya integrasi tiga pilar utama dalam pembentukan peradaban Islam yaitu agama, politik dan ilmu pengetahuan terpadu dalam satu kendali sistem kekhilafahan dibawah pimpinan seorang khalifah.

Keberlangsungan sistem kekhilafahan terutama sejak zaman Daulat Umayyah dan Daulat Abbasiyah walaupun bersifat khalifatul mulk (estapeta kepemimpinan didasarkan pada keturunan/dinasti) yang adakalanya dipimpin oleh orang shaleh dan sekali waktu dipimpin oleh orang zhalim dan durhaka, tetapi seburuk-buruk kondisi pada masa kehilafahan, masih jauh lebih baik daripada masa setelah tercerabutnya kehilafahan, karena pada masa kekhilafahan hukum Islam masih tegak dan ditaati oleh umat Islam, demikian juga adanya ketaatan terhadap berbagai fatwa para ‘ulama.

Segala hal yang baik dari para pendahulu umat Islam seyogiannya menjadi cerminan teladan bagi kita, sementara segala hal yang kurang baik, sejatinya dijadikan sebagai pelajaran yang sangat berharga.

Awal meredupnya peradaban Islam yang terjadi sejak abad ke-8 hijriah (abad 13 M) hingga abad ke-14 hijriah (abad 20 M) yang telah mengakibatkan proses peralihan dari peradaban Islam ke keradaban Barat yang ditandai dengan masa pencerahan di dunia Barat serta terjadinya penjajahan, penaklukan dan aneksasi terhadap negeri-negeri muslim oleh armada perang dari negara-negara Barat lebih disebabkan oleh melemahnya legitimasi politik dunia Islam karena peran kekhilafahan cenderung bersifat simbol serta hanya sebatas seremonial saja hingga tumbangnya sistem kekhilafahan di dunia Islam. Dari situlah kemudian dimulainya hegemoni dunia Barat terhadap dunia Islam.

Jadi, sesungguhnya faktor utama kekalahan dan melemahnya peran umat Islam bukanlah terletak pada kuatnya pihak musuh-musuh Islam, tetapi lebih disebabkan oleh melemahnya kekuatan umat Islam yang diakibatkan oleh perbuatan kemaksiatan yang dilakukan. Kemaksiatan terbesar terutama berupa sikap menyekutukan Alloh Swt (musyrik) dalam beribadah serta tidak memperdulikan lagi atas berbagai aturan (syari’at) yang diperintahkan-Nya.

Perbuatan maksiat yang dilakukan oleh umat Islam itulah yang telah dikhawatirkan oleh Umar bin Kaththabr.a. saat beliau menjadi Khalifah, hal ini sebagaimana dapat kita simak dari pesan tertulis beliau yang pernah disampaikannya kepada Sa’ad bin Abi Waqash ketika akan menghadapi sebuah pertempuran. Pada surat itu ditulis pesan sebagai berikut:

“Umar bin Kaththab ra. telah menulis sepucuk surat kepada Sa’ad bin Abi Waqash r.a.: ‘Sesungguhnya kami memerintahkan kepadamu dan kepada seluruh pasukan yang kamu pimpin, agar taqwa dalam segala keadaan, karena taqwa kepada Alloh merupakan seutama-utamanya persiapan dan strategi paling kuat dalam menghadapi pertempuran. Aku perintahkan pula kepadamu dan pasukan yang kamu pimpin agar benar-benar menjaga diri dari berbuat maksiat. Karena maksiat yang engkau perbuat pada saat berjuang lebih aku khawatirkan daripada kekuatan musuh, sebab engkau akan ditolong Alloh jika musuh-musuh Alloh telah berbuat banyak maksiat, karena jika tidak demikian kamu tidak akan punya kekuatan sebab jumlah kita tidaklah sebanyak jumlah pasukan mereka, dimana persiapan mereka berbeda dengan persiapan yang kita lakukan. Jika kita sama-sama berbuat maksiat sebagaimana yang dilakukan oleh musuh-musuh kita, maka kekuatan musuh akan semakin hebat. Sangatlah berat kita akan dapat mengalahkan musuh kita jika hanya mengandalkan pada kekuatan yang kita miliki, kecuali dengan mengandalkan ketaqwaan kita kepada Alloh dan senantiasa menjaga diri dari berbuat maksiat...” (Lihat : Kitab Al ‘Aqdul Farid jilid I, hlm. 101; Kitab Nihayatul Arab jilid VI, hlm. 168; Kitab Ikhbarul Umar wa Ikhbaru Abdullah bin Umar jilid I, hlm. 241-242; Kitab Ikbasu min Ikhbarul Khulafa Ar-Rosyidin hlm 779, serta buku Jihad tulisan Dr. Mahfudz Azzam, hlm. 28).


SENARAI PUSTAKA :
1. Abu Khalil, Syauqi. Harun Al Rasyid, Pemimpin dan Raja yang Mulia. Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
2. Al-Sharqawi, Effat. Filsafat Kebudayaan Islam. Bandung: Penerbit Pustaka, 1986.
3. Enan, M.A. Decisive Moments in the History of Islam (Detik-detik Menentukan dalam Sejarah Islam). Alih Bahasa oleh Mahyuddin Syaf, Surabaya: Bina Ilmu, 1979.
4. Gibbon, Edward. The Decline and The Fall of Roman Impire, Abridged and Illustrated London. United Kingdom: Bison Books Ltd. 1979.
5. Gutas, Dimitri. Greek Thought, Arabic Culture, The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early Abbasid Society (2nd-4th/8th-10 centuries). Routledge, London-New York, 1998.
6. Muttaqo Al Hindi. Kitab ‘Muntakhob Kanzu’l-Ummal, Jilid VI.
7. Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1985.
Leaman, Oliver. Scientif and Philosophical Enquiry: Achievement and Reaction in Muslim History dalam Farhad Daftary (ed), Intellectual Traditions in Islam, I.B Tauris, London-New York in Association with The Institute of Ismaili Studies, 2000.
8. Leaman, Oliver. An Introduction to Medieval Islamic Philosophy, Cambridge: University Press, Cambridge, 1985.
9. Muhammad Ash-Shalabi, Ali. Bangkit & Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004.
10. Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya. Jilid I, cetakan kelima. Jakarta: UI Press, 1985.
11. Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
12. Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Umayyah. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
13. Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Abbasiah. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
14. Stryzewska, Bojena Gajane. Tarikh al-Daulat al-Islamiyah. Beirut: Al Maktab Al-Tijari, tanpa tahun.
15. Suyuthi, Imam. Tarikh Khulafa. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2006.
16. Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987, cet. V.
17. Watt, W. Montgomery. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Yogyakarta: Tiara Wicana Yogya, 1990.
18. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
19. Zarkasyi, Hamid Fahmy. Membangun Peradaban Islam. Makalah Workshop Pemikiran Ideologis, Forum Ukhuwwah Islamiyah, Daerah Istimewa Yogyakarta, 15 April 2007.
20. Zallum, Abdul Qadim. Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah, Telaah Politik Menjelang Runtuhnya Negara Islam. Bangil: Al-Izzah, 2001.

Jumat, 24 Juli 2009

Kartini Lawan Feminis

Sejarah, penggal waktu yang telah ditinggalkan. Sejarah, hanyalah saksi bisu yang bergantung pada kacamata manusia untuk membacanya. Sejarah bisa berarti beda jika kacamata baca manusia juga berbeda. Adalah sebuah keharusan untuk membaca sejarah secara obyektif berdasarkan fakta.
Demikian halnya dengan perjuangan Kartini. Benarkah Kartini pejuang emansipasi dan feminisme? Atau tidak ada hubungannya sama sekali? Maka kita perlu meninjau kembali perjuangan beliau.

Tangal 21 April bagi wanita Indonesia, adalah hari yang khusus untuk memperingati perjuangan RA Kartini. Tapi sayangnya, peringantan tersebut sarat dengan simbol-simbol yang berlawanan dengan nilai yang diperjuangkan Kartini (misalnya, penampilan perempuan berkebaya atau bersanggul, lomba masak dan sebagainya yang merupakan simbol domestikisasi perempuan).
Kartini besar dan belajar di lingkungan adat istiadat serta tata cara ningrat Jawa, feodalisme, ia hanya boleh bergaul dengan orang-orang Belanda atau orang-orang yang terhormat dan tidak boleh bergaul dengan rakyat kebanyakan. Kartini tidak menyukai lingkungan yang demikian, ini terlihat dari isi suratnya yang ditujuka kepada Stella, tanggal 18 Agustus 1899 diantaranya: “Peduli apa aku dengan segala tata cara itu, segala peraturan-peraturan itu hanya menyiksa diriku saja”
Kartini mendobrak adat keningratan, karena menurutnya setiap manusia sederajat dan mereka berhak untuk mendapatkan perlakuan sama. Itu beliau lakukan pada masa di mana seseorang diukur dengan darah keningratan. Semakin biru darah ningratnya semakin tinggi kedudukannya. Ini terlihat dalam suratnya pada Stella tanggal 18 Agustus 1899: “Bagi saya hanya ada dua macam keningratan: Keningratan Pemikiran (Fikrah) dan Keningratan Budi (Akhlaq). Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal sholeh, orang yang bergelar Graff atau Baron!”
Kartini memag berupaya untuk memajukan kaum wanita di masanya (masa penjajahan). Pada saat itu wanita tidak mendapatkan hak pendidikan yang sama denga lakli-laki, namum memberi kontribusi bagi perbaikan masyarakat. Cita-citanya ini diungkapkan melalui suratnya kepada Prof Anton dan nyonya, pada tanggal 4 Oktober 1902: “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan. Bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak permpuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tetapi, karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali terhadap kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”. Dengan demikian perjuangan Kartini bukan hanya untuk kepentingan wanita, namun jauh lebih luhur lagi adalah bagi perbaikan tatanan kehidupan.
Pada awalnya, perjuangan Kartini banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang bersal di luar Islam, dikarenakan karena ia belum paham Islam secara benar. Ia mengaji dan membaca al-Qur’an tetapi tidak dapat memahami isinya, sehingga ia tidak bisa merealisasikan di dalam kehidupannya. Bahkan sebaliknya ia sangat membenci Barat, ini terlihat dari isi suratnya yang ditujukan kepada nyonya Abendon, tanggal 27 Oktober 1902: “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Ma’afkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban”
Selanjutnya di tahun-tahun terakhir sebelum wafat ia menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang bergolak di dalam pemikirannya. Ia mencoba mendalami ajaran yang dianutnya, yaitu Islam. Pertemuannya dengan KH. M. Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat, Semarang, telah merubah segalanya. Pada saat Kartini mempelajari Al-Qur’an melalui terjemahan bahasa Jawa, Kartini menemukan dalam surat Al-Baqarah:257, Firman Allah SWT yang artinya:
“Allah pemimpin orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir pemimpin mereka ialah Thagut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.
Dalam banyak suratnya sebelum wafat. Kartini banyak mengulang kata-kata Dari Gelap Kepada Cahaya, namun makna ini bergeser tatkala Armin Pane menerjemahkannya dari bahasa Belanda menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Kalimat ini sedikit demi sedikit telah menghilangkan makna yang dalam, menjadi sesuatu yang puitis namun tidak memilki arti ruhiyah.
Namun sangat disayangkan refleksi perjuangan Kartini saat ini, banyak disalah artikan oleh wanita-wanita Indonesia dan telah dimanfaatkan oleh pejuang-pejuang feminisme untuk menipu para wanita, agar mereka beranggapan bahwa perjuangan feminisme memiliki akar di negerinya sendiri, yaitu perjuangan Kartini. Mereka berusaha menyaingi laki-laki dalam berbagai hal, yang kadangkala sampai di luar batas kodrat sebagai wanita. Tanpa disadari, wanita-wanita Indonesia telah diarahkan kepada perjuangan feminisme dengan membawa ide-ide kapitalisme yang pada akhirnya merendahkan, menghinakan derajat wanita itu sendiri.
Kalangan feminis hanya mengukur standar kemuliaan wanita pada seberapa besar peran wanita dalam ranah publik, mereka menuntut keikutsertaan wanita dalam semua bidang kehidupan mulai dari tukang becak sampai kalangan birokrat. Wanita dinilai tidak lebih hanya sebagai barang komoditi. Padahal, solusi yang mereka tawarkan justru malah menimbulkan problem baru bagi perempuan. Tingginya tingkat pemerkosaan perempuan, pelecehan seksual, trafficking perempuan, dan sebagainya, tidak lain disebabkan oleh hal tersebut.
Upaya meneladani perjuangkan Kartini bukanlah kembali pada ide-ide feminis yang absurd melainkan kembali pada ideologi Islam, yang dalam rentang masa kepemimpinannya selama 13 Abad mampu memposisikan wanita pada kedudukannya yang teramat mulia, maka wajar bila desas desus diskriminasi perempuan tak pernah terdengar.

Sri Mulyani
Aktivis BEM-JPBA
UIN Jakarta

Teror Belum Berakhir

Sebuah pesan singkat kuterima lagi sore ini. Isinya senada dengan beberapa hari yang lalu, suara-suara lantang bernada ejekan mereka teriakkan lagi. Apa bedanya pelacur dengan perempuan yang berstatus istri? Mereka sama-sama penikmat dan pelayan seks laki-laki.
Gerah sekali rasanya. Pesan tadi sungguh membuat merah telingaku. Gigiku spontan bergemeretak menahan amarah yang hampir saja meledak. Aku tercenung sejenak hampir tidak mengerti mengapa mereka bisa sampai berpikiran tidak waras seperti itu.
Sayup-sayup lantunan adzan Maghrib berkumandang di kejauhan, mampu sedikit meredam semua itu. Segera kuambil air wudhu, menundukkan segenap emosi sembari bermunajat kehadapan Illahi Rabbi. Semoga pikiran-pikiran negatif yang bergentayangan di dalam benakku segera terhapus dan ternetralisir.
Wajahku tengadah menatap semburat langit senja yang masih tertutup mendung. Gumpalan awan berarak menandakan musim hujan belumlah berakhir.
Kubuka kembali file presentasi makalahku yang tersimpan dalam memori laptopku. ’Jebakan Gender dalam Politik Demokrasi’, judul makalah inilah yang telah membuat gusar mereka. Makalah tersebut kupresentasikan seminggu lalu dalam diskusi publik temu aktivis wanita di kampus. Animo peserta sangat luar biasa mengapresiasikannya. Forum terbelah menjadi dua kubu. Pro-kontra mewarnai jalannya diskusi.
Bagi sebagian kalangan mungkin tema yang kuangkat tidaklah populer. Dan bahkan cenderung melawan arus. Di saat mereka menyuarakan quota 30% bagi wanita di parlemen, aku justru sebaliknya. Demikian pula ketika mereka dengan semangat mengajak kaum wanita berbondong-bondong ke ranah publik untuk mengais rupiah, aku malah dengan keukeuh mempertahankan fitrah wanita untuk mengoptimalkan perannya di ranah domestik sebagai ummun wa rabbatul bait (ibu dan manajer rumah tangga) dan juga madrasatul ’ula (pendidik pertama dan utama) bagi buah hati generasi masa depan.
Siapa bilang agama yang dibawa Rasulullah memenjarakan wanita dan menjadikan wanita terdiskriminasi? Dengan gamblang kujelaskan, setiap muslimah adalah politikus intelektual. Mereka bergelut di ranah publik dalam rangka mencerdaskan umat, mendidik umat menjadi hamba Allah yang taat pada hukum-hukum-Nya di segenap aspek kehidupan. Inilah politik sejati nan mulia yang diajarkan Rasulullah!
Ah... sekali lagi aku tak habis pikir. Kenapa mereka terus menerorku. Bukankah ini negeri demokrasi? Bukankah dunia juga telah mengakuinya dengan menyematkan medali demokrasi buat negeri yang katanya zamrud katulistiwa ini? Ah... untuk yang kesekian kalinya aku menghela napas. Di mana bagian dari kebebasan berpendapat yang mereka teriakkan itu?
Masih lekat dalam ingatanku, ketika usai acara mereka menghadiahkan sebuah buku berjudul ’Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual’. Astaghfirullah...aku hanya bisa menghela napas panjang lagi. Inikah yang terjadi di negeri yang mengaku religius dan menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran itu? Ya, mungkin aku harus mengulanginya sekali lagi, karena ini adalah negeri demokrasi!

&&&

Hari masih pagi, rintik-rintik hujan sudah membasahi bumi kembali. Beruntung rumahku masih bebas banjir, mengingat minggu-minggu terakhir ini beberapa wilayah di tanah air telah tenggelam di terjang banjir. Kemacetan panjang akibat banjir pun tak terelakkan lagi. Tidak hanya itu, beberapa fasilitas umum seperti lampu penerangan, air PAM, dan saluran telepon di daerahku juga sempat mengalami gangguan akibat banjir.
Di salah satu selasar yang menghubungkan fakultasku dengan fakultas teknik, seorang wanita muda dengan stelan merah hati tampak sedang berdiri di pojok gedung. Pasti itu Anita tebakku. Dia seorang penulis, salah satu peserta yang hadir dalam acara minggu lalu.
”Anita kan?” tanyaku memastikan.
Sebuah senyuman terkulum manis menebarkan aura kecantikannya.
”Masih ingat, ya? Nggak kena macet?” sapanya ramah.
Aku menggeleng. ”Berangkat pagi bareng ayam jago kukuruyuk...,” lanjutku.
Kami berdua tertawa kecil. Nuansa keakraban mengalir di antara kami padahal kami baru saja saling kenal.
”Ada jam kuliah?” tanyanya mencari kepastian.
”Nanti jam terakhir, kita punya banyak waktu,” jelasku meyakinkan. ”Sudah sarapan?”
Anita kembali tersenyum. ”Sepotong roti pake selai strawberry, nggak sempat yang lain.”
”Bagaimana kalau sarapannya dilanjutkan di kantin saja sambil ngobrol?” tawarku.
”Boleh.”

&&&

Suasana di kantin tidak seramai biasanya. Mungkin musim hujan dan juga ancaman banjir yang bisa datang sewaktu-waktu membuat sebagian mahasiswa absen kuliah. Akibatnya, kantin pun kena imbasnya.
”Pesan apa?” tanyaku sambil mencari ide menu makan yang mungkin bisa menjadi alternatif pilihanku.
”Em...nasi goreng spesial.”
”Minumnya?”
”Jeruk hangat. Kamu sendiri pesan apa?” tanya Anita sambil menatapku.
”Sama saja, deh.”
Setelah menunggu sekitar sepuluh menit pesanan kami akhirnya datang juga.
”Sambil makan, kita lanjutkan ya diskusi kita?” ajak Anita mencoba memulai pembicaraan lebih serius.
”OK.”
”Terus terang aku penasaran dengan semua yang kamu paparkan dalam makalah itu. Sebuah gagasan yang nggak lazim di jaman seperti ini. Sebenarnya siapa sih yang menginspirasi kamu?” tanya Anita dengan tak sabar. Ada sebuah rasa penasaran yang mencuat dari nada bicaranya.
Aku terdiam sesaat. Kulahap habis nasi goreng di hadapanku.
”Rasulullah dan para shahabiyah, maksudku sahabat wanita di jaman Rasul,” jawabku singkat.
Kulihat Anita mengernyitkan dahinya.
”Terdengar aneh?” Aku balik bertanya.
”Bukankah itu sudah terjadi di jaman lampau? Sekarang semua sudah berubah, kita sudah berada dalam dunia modernitas,” tandasnya.
”Apanya yang berubah? Modern yang seperti apa? Kalau teknologi sih iya. Dulu jamannya Rasul nggak ada komputer, nggak ada pesawat, bisanya naik onta. Sekarang semua fasilitas serba komplit. Tapi untuk kejahatan moral dan rusaknya peradaban kan sama?!”
”Maksudmu?” tanyanya semakin tidak mengerti.
”Dulu peradaban jahiliyah banyak bayi wanita yang dibunuh, free sex merajalela, pecandu miras banyak, homoseks juga ada. Sama kan dengan sekarang? Bahkan lebih parah lagi. Bayi yang dibunuh tidak sekedar berkelamin wanita tapi juga pria. Aborsi begitu kan?” ungkapku. ”Homoseks pun sekarang mulai mewabah. Padahal hewan saja nggak ada kan yang sampai begitu? Mana ada hewan yang kawin sejenis?!” lanjutku menimpali.
”Ya, bisa jadi. Tapi bagaimana dengan diskriminasi itu? Bukankah ini yang memandulkan kreativitas kaum wanita?” kembali Anita melontarkan sederet pertanyaan padaku.
”Apa memaksimalkan peran sebagai ibu, mendidik anak, mengurus rumah tangga dikatakan diskriminasi? Bukankah kaum wanita juga berhak mengecap pendidikan yang setara dengan kaum pria? Kalau kesetaraan yang dimaksud meliputi seluruh aspek dan harus sama persis, it’s impossible. Ada peran masing-masing antara pria dan wanita yang nggak bisa disubstitusikan. Hamil, menyusui, mengasuh, dan mendidik anak adalah peran khusus buat wanita. Nggak bisa digantikan oleh pria,” imbuhku.
”Nah, inilah yang menyebabkan wanita tergantung pada pria,” ulas Anita.
”Secara finansial? Ya karena itu sudah kewajiban suami menafkahi istri.”
”Nggak semua suami berpemikiran demikian. Coba kamu bayangkan saja jika istri tidak mandiri secara finansial, pasti suami bisa seenaknya. Faktanya demikian kan?”
”Ketika istri dan suami tidak memahami hak dan kewajiban masing-masing, wajar itu semua terjadi. Seperti sekarang ini. Banyak suami melepas tanggung jawabnya dan menuntut istrinya juga harus bekerja full time lagi. Jadi jangan salahkan anak kalau akhirnya mereka punya banyak waktu untuk berkenalan dengan dunia narkoba maupun free sex, karena mereka telah kehilangan sosok ibu.”
Sejenak aku menghela napas. ”Pernahkah kamu berpikir ada seorang anak SMA merasa pusing jika tidak melakukan free sex? Kalau sudah begini siapa yang disalahkan?”
Sejurus kemudian kami sama-sama terdiam. Seolah sebuah gunung es yang menjulang membentang di depan mata.
Kulihat Anita mereguk air jeruk hangat yang tinggal separuh gelas. Berusaha mencairkan kebekuan yang perlahan hinggap memasung jiwanya.
”Ya, kurasa gagasan itu tidak ideal untuk masa sekarang. Kita nggak bisa menutup mata, banyak masyarakat dengan penghasilan yang nggak memadai. Nggak ada pilihan lain kecuali suami istri memprioritaskan sama-sama bekerja jika ingin tetap hidup.”
”Inilah yang kumaksudkan kita telah terjebak. Kita terperangkap pada orientasi materi peradaban kapitalis. Mengejar kesuksesan duniawi semu dengan mengesampingkan efeknya. Kita mungkin berhasil diapresiasi dunia karena menjadi negara yang paling demokratis tapi semua itu ternyata tidak berkontribusi menyelesaikan krisis multidimensi negeri ini. Lihatlah, bukankah angka pengangguran makin meningkat, penduduk miskin makin menjamur, harga BBM makin menjulang, tindakan berbau pornografi-pornoaksi kian menggila, dan segudang permasalahan lain. Lalu apa artinya medali demokrasi itu?”
Kali ini Anita tidak menyanggah lagi. Pandangan kami sama-sama menerawang jauh. Menembus batasan yang tidak bertepi. Mencoba mencari satu titik temu yang terbungkus dalam kebenaran sejati. Setidaknya itulah yang kutangkap dari kejujuran Anita dan mungkin bagi siapa saja yang mau menilai dengan obyektif terhadap apa yang terjadi saat ini.

&&&

Kamu harus tahu dirimu siapa. Perlu belajar banyak. Ingat jam terbangmu belumlah cukup, jadi nggak perlu ngoyo.
Teror itu belum berakhir. Dan bagiku the show must go on! Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku punya Allah yang menguasai semua kebenaran dan menjadi pelindung para pembela kebenaran. Sedangkan mereka siapa? Mereka sama sepertiku. Manusia juga. Punya Tuhan. Bedanya, mereka bertuhan dengan memuja lembaran-lembaran dolar. Mengaku membela hak-hak wanita tapi sejatinya malah menjerumuskannya hanya karena iming-iming dolar dari tuannya.
Inilah yang akan terus kusuarakan. Karena para wanita juga berhak tahu kebenaran. Dan tak semua wanita bisa dibeli dengan dolar untuk sebuah propaganda keji. Sekalipun mungkin teror akan terus berlanjut dan berlanjut. Tapi tetap saja, ’the show must go on’ untuk sebuah kebenaran.***