Jumat, 16 Oktober 2009

Ijinkan Aku Menjadi Perempuan


Lely Noormindhawati (diterbitkan PT. Akoer,2009)

Sinopsis
Ia tinggal di sebuah wisma di antara deretan wisma yang berjajar di gang-gang sempit itu. Sudah belasan tahun ia menghabiskan usianya di tempat ini, untuk mengais lembaran rupiah sebagaimana perempuan lain yang tinggal di sini. Bedanya, ia yang paling muda—masih duduk di bangku sekolah—sedangkan mereka, orang bilang sudah profesional.
Begitu adzan Ashar selesai berkumandang, wisma-wisma di gang-gang sempit yang semula lengang itu kini tampak adanya aktivitas. Perempuan-perempuan di dalam wisma tersebut mulai berdandan dan mengenakan gaun-gaun ketat, mempertontonkan detil lekuk tubuhnya. Dulu ia sempat bertanya, ‘mengapa mereka melakukan semua itu?’ Tapi kini ia tak butuh lagi jawaban itu. Karena ia pun melakukan hal yang sama seperti mereka. Demikianlah pemandangan yang ia temukan setiap hari di sini, etalase Dolly, sebuah kawasan prostitusi di kota Metropolis Surabaya yang konon terbesar se-Asia Tenggara.
Tak selamanya materi mampu memberikan kebahagiaan. Itulah yang ia rasakan saat ini. Suara hatinya terus meronta dan mengajaknya keluar meninggalkan lembah kemaksiatan di sini. Meskipun harus menghadapi resiko besar yang siap menghadang kapan pun. Hingga cahaya kebenaran akhirnya mempertemukannya dengan Maryam dan teman-temannya. Dan pintu taubat pun mengantarkannya menuju metamorfose hidup. Sayang, ketika cahaya Illahi itu mulai ia gapai, ia harus berjuang melawan penyakit penebar maut HIV/AIDS. Pertaruhan antara hidup dan mati hampir saja membinasakan seluruh asa yang sempat ia sematkan untuk menggapai kebahagiaan dan cita-cita tertinggi bagi seorang perempuan. Menjadi wanita sholihah, sebaik-baiknya perhiasan hidup ***




Daftar Isi

Bagian 1 : Panggil Namaku Ve
Bagian 2 : Menjadi Layaknya Perempuan
Bagian 3 : Ia Mencari Orang Tuanya
Bagian 4 : Ia Kabur
Bagian 5 : Lelaki Itu Mencintainya
Bagian 6 : Bertemu Teman-teman Baru
Bagian 7 : Metamorfose
Bagian 8 : Rencana Baru
Bagian 9 : Ia Harus Memilih
Bagian 10 : Bersama Keluarga Baru
Bagian 11 : Awal dari Bencana
Bagian 12 : Penyakit Penebar Maut
Bagian 13 : Menjalani Karantina
Bagian 14 : Puisi-Puisi
Bagian 15 : Menyingkap Tabir Kebohongan
Bagian 16 : Ketika Maut Menjemput


"Ikuti detail kisahnya di novel terbaru karyaku dan dapatkan di Gramedia ato Gunung Agung di kota Anda!!!"

Sinetron HIV-- Sebuah Kritik

Dimuat di Rubrik Suarapublika, Harian Republika (29 Juli 2006)

Tayangan sinetron HIV yang salah satunya dibintangi aktor ternama Gunawan di Trans TV ini sangat menarik untuk dicermati. Sayang penayangan sinetron tersebut tergolong berani karena idenya sangat berlawanan dengan mainstream masyarakat kita yang religius. Secara tersirat, sinetron ini membawa pesan bagi kita semua bahwa penderita HIV adalah manusia biasa sebagaimana kita. Mereka layak hidup normal dan berhak mendapatkan ruang gerak di setiap lini kehidupan.

Ini sangat berbahaya bila dibiarkan. Mengapa? Kita akan dibawa pada satu pola pikir humanisme dan moralitas semata tanpa kita memikirkan aspek lain. Sebab, faktor utama terinfeksinya seseorang sehingga akhirnya positif mengidap virus HIV tidak lain disebabkan oleh gaya hidup free sex.

Sayangnya sinetron ini sengaja mengaburkan penyebab utama HIV tersebut. Atau memang sengaja ingin melanggengkan free sex? Jika memang demikian, kita harus waspada. Pemerintah sudah seharusnya menyetop semua ruang yang bisa menyuburkan benih free sex. Jika tidak, selain penderita HIV semakin menjamur, negeri kita juga akan semakin tidak bermartabat karena sebagai negeri yang religius secara tidak langsung telah melegalkan gaya hidup ala binatang.

Kehancuran Zionis Segera Tiba!

Dimuat di Rubrik Suarapublika,Harian Republika (9 Agustus 2006)

Kini tak ada lagi yang mampu menutupi bau busuk yang ditebarkan oleh Israel-AS. Agresi Zionis Israel ke Jalur Gaza dan Lebanon serta sikap diamnya AS akan hal itu, adalah bukti nyata siapa sejatinya yang layak menyandang predikat the real terrorist.

Dunia internasional seharusnya sadar, stigma teroris terhadap umat Islam pada hakikatnya adalah kejahatan terorganisir untuk melenyapkan entitas kaum Muslimin dari muka bumi. Dan setelah isu terorisme 'gagal' memberangus kaum Muslimin, kini mereka tanpa malu-malu dan secara terang-terangan langsung membombardir komunitas Muslim di jantung kota Lebanon dan Jalur Gaza. Wahai Zionis Israel, tunggulah kehancuran kalian. Sebentar lagi Allah SWT akan mengirim elite pasukan kaum Muslimin di bawah komando Khilafah Islamiyah untuk membinasakan kalian!

Di Atas Laju Gerbong Kereta Api Ekonomi ...

“Pertama kalinya Anita naik kereta api kelas ekonomi”


Rona kegembiraan terpancar jelas dari wajah manis Anita. Ia baru saja melepaskan status dirinya sebagai anak SMP. Dan kini Anita resmi menyandang predikat pelajar SMU, mengenakan seragam baru kebanggaannya—putih abu-abu.
Usai kelulusan Anita langsung mendaftarkan diri ke sebuah SMU favorit di kota. Beruntung Dewi Fortuna berada di pihaknya. Ia bisa lulus seleksi dan diterima di sana. Bahkan ia harus rela berpisah dengan kedua orang tuanya saat memutuskan pilihan, tinggal di rumah kos dekat sekolahnya. Jarak yang cukup jauh antara rumah dengan sekolah barunya tidak memungkinkan Anita menempuh perjalanan pulang pergi setiap hari. Apalagi usai sekolah ia mengikuti les pelajaran di sebuah bimbingan belajar. Bisa dibayangkan jika ia tetap ngotot dan tidak menuruti saran papa mamanya, pastilah waktunya habis di perjalanan. Waktu istirahat pun jelas ikut tersita.
Kini Masa Orientasi Sekolah (MOS) baru saja berakhir. Anita bisa tersenyum lega. Setidaknya ia tidak lagi mendengar teriakan-teriakan arogan Kakak-Kakak Kedisiplinan yang acap kali memberikan sangsi kepada peserta MOS. Ia juga tidak perlu lagi mengenakan atribut-atribut yang cukup memuakkan untuk dilihat. Setiap hari ke sekolah memakai ‘seragam kebesaran’: tas plastik, topi kardus, rambut kuncir dua berponi, dan kalung rafia berbandul namanya dalam ukuran besar. Mengingat semua itu membuat Anita tersiksa. Harapannya tentu bisa segera mengenakan baju seragam putih abu-abu kebanggaannya, bukan malah berdandan ala sekolah bebek. Ia hanya bisa tersenyum nyegir mengenang masa-masa tersebut. Dalam benaknya masih melekat kuat saat ia terkena hukuman. Waktu itu dirinya tidak mampu menjalankan tugas dari salah satu Kakak Kedisiplinan, makan kerupuk bundar besar dalam tempo satu menit. Saat waktu habis justru Anita tersendak-sendak dan kerupuknya masih tersisa hampir separuh. Kakak-Kakak Kedisiplinan yang berjumlah delapan orang langsung mengerjai Anita. Ia disuruh keliling barisan sambil mengucapkan, “Aku anak mama, makan minta disuapin.” Ughh… Kesal sekali dan sekaligus membuatnya malu tiada terperi. Wajahnya sempat memerah menyerupai kepiting rebus, menahan air mata yang sudah hampir tak terbendung lagi.
Anita menutup diarynya. Ia telah puas menumpahkan perasaannya selama sepekan ini melalui goresan penanya. Minggu pagi ini ia sengaja tidak pulang ke rumah. Anita telah merencanakan pergi merayakan ulang tahun sepupunya yang berada di luar kota. Siang nanti akan diadakan pesta kecil-kecilan di sana.
“Nita, kamu serius berangkat sendiri?” tanya ibu kos setengah tak percaya.
Ibu kos menatap Anita penuh keraguan. Wanita itu tahu betul sosok Anita yang masih manja dan kekanak-kanakan. Diam-diam ia tidak tega membiarkan Anita berangkat naik kereta api sendirian. Apalagi menurut pengakuan Anita, dirinya belum pernah sama sekali naik kereta api.
“Nggak masalah kok, Bu. Nanti dijemput paman di stasiun,” jawab Anita mencoba meyakinkan keraguan wanita yang berdiri di depannya itu.
“Baiklah, yang penting kamu berhati-hati,” pesan ibu kos.
“Ya, Bu,” jawab Anita sambil tersenyum.
“Kamu naik kereta jam berapa?”
“Jam delapan, Bu. Sebentar lagi saya berangkat, biar nggak telat.”
“Pulangnya jam berapa dari sana?”
“Insya Allah jam tiga sore, Bu. Mungkin pulangnya naik bis karena jadwal kereta ke sini adanya malam.”
“Baiklah. Anita kamu hati-hati di jalan. Salam buat keluarga di sana.”
Masih dengan kecemasan wanita itu melepas kepergian Anita. Akhirnya Anita berangkat menuju stasiun setelah berpamitan dengan ibu kosnya. Beruntung jarak rumah kosnya dekat dengan stasiun. Dengan berjalan kaki, ia hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit agar bisa sampai di sana.
Anita melirik arloji di lengan kirinya. Sudah menunjukkan pukul 8.40. Ia segera mempercepat langkah kakinya. Matahari mulai nampak beranjak naik dari posisinya semula. Terik panasnya pun terasa semakin menyengat kulit. Anita mengeluarkan selembar kertas tisu dari balik sakunya. Ia perlahan menyeka butiran keringat tersebut yang kini mulai menetes.
Sesampai di sebuah perempatan jalan, ia sejenak menghentikan langkahnya. Lalu lalang kendaraan yang mulai padat tidak memungkinkannya menyeberang saat ini. Begitu kendaraan mulai sepi, ia segera melintas. Anita kemudian memilih jalur alternatif. Sebuah jalan pintas yang menghubungkan jalan utama dengan stasiun, di sela-sela pemukiman padat penduduk. Benar saja, lima menit kemudian ia sudah sampai di sana.
Setelah mengantri di loket, Anita segera memasuki peron. Dalam hati ia berharap-harap cemas, semoga kereta tidak penuh. Maklum temannya pernah bercerita, kereta ekonomi sering kali laris manis di saat liburan atau hari Minggu seperti sekarang. Dan ini adalah pertama kalinya ia naik kereta api kelas ekonomi. Perasaannya tentu saja bercampur aduk saat ia menunggu kereta datang.
Tepat jam 9.15 gemeretak laju gerbong kereta mulai terdengar memasuki stasiun. Dan kekhawatiran Anita menjadi kenyataan. Kereta ternyata penuh sesak dengan penumpang.
“Ughh …”
Anita tampak ikut berdesakan di antara penumpang lain yang berebut menaiki gerbong, berharap masih menjumpai bangku yang kosong. Beruntung tubuhnya yang mungil bisa segera lolos dari desak-desakan itu. Hingga ia bisa secepatnya mencari tempat duduk yang masih tersisa. Di gerbong paling belakang akhirnya Anita bisa menemukan tempat duduk tersebut.
“Alhamdulillah …,” ucapnya sedikit lega.
Kecemasan belum berhenti sampai di situ. Ancaman pencopet mulai menghantui pikirannya. Tas ransel kecil tempat ia menyimpan sejumlah uang dan telepon genggam, sejak tadi di dekapnya. Sesekali waktu ia sibuk memasukkan tangannya ke dalam tas, memastikan isinya tidak berkurang sedikit pun.
Kereta terus berjalan meninggalkan stasiun yang sudah tidak terlihat lagi. Rangkaian gerbongnya dari jauh tampak meliuk-liuk laksana ular raksasa yang sedang berjalan. Terkadang mendaki dan suatu waktu menurun. Mengikuti liku-liku rel di tanah yang mulai memasuki daerah perbukitan.
Anita duduk dengan gelisah. Suara pedagang asongan yang sejak tadi berseliweran menawarkan barang dagangan sangat mengganggu telinganya. Ia sama sekali tidak menyangka terjebak dalam situasi seperti ini. Ada sepercik penyesalan mengapa ia tadi tidak memutuskan naik bis saja. Tapi ia pun tidak ingin menyerah. Anita sama sekali tidak ingin kalah. Dirinya terlanjur menerima tantangan dari teman sebangkunya di kelas untuk naik kereta api kelas ekonomi sendirian.
“Sarah, akan kubuktikan aku berani dan tidak secengeng yang kau dan teman-teman tuduhkan,” gumam Anita dalam hati.
Sekuat tenaga Anita berusaha menghimpun energi keberanian dalam dirinya. Agar esuk hari ia bisa kembali ke sekolah dengan bangga. Tidak lagi mendapat predikat anak mama sebagaimana gelar yang disematkan Kakak-Kakak Kedisiplinan sewaktu MOS minggu lalu. Julukan tersebut jelas sangat menjengkelkan perasaannya. Ia tidak ingin lagi dianggap sebagai anak mama. Ia merasa saat ini dirinya sudah cukup dewasa. Bukan pula anak mama yang cengeng dan manja, sebagaimana anggapan teman-teman sekolahnya.
Setengah jam sudah Anita duduk menikmati gemeretak laju gerbong kereta api. Sayup-sayup alunan musik grup pengamen jalanan mulai terdengar dari gerbong sebelah. Bersaing dengan suara pedagang asongan yang tidak pernah bosan menawarkan barang dagangannya.
Udara dalam gerbong terasa semakin panas. Anita berulang kali menghapus peluhnya. Sesekali ia menutup hidungnya dengan kertas tisu. Bau asap rokok terus menari-nari di sekitarnya. Membuat hatinya semakin dongkol.
“Dasar nggak tahu diri! Sepanas ini masih merokok juga!” umpatnya dalam hati.
Di kejauhan pedagang kipas menuai untung. Udara panas membuat hampir semua penumpang kegerahan. Begitu pula dengan Anita. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sejak tadi ia kebingungan mencari sesuatu yang bisa dibuat kipas. Dalam hati terus berharap pedagang kipas itu segera mendekati tempat duduknya.
“Kipas …kipas…kipas Bu. Kipas Mbak …”
“Ah …Riko …”
Anita menajamkan pandangannya. Sepertinya ia mengenal sosok itu. Dan ia pun semakin terkejut ketika sosok tersebut mulai mendekat ke arahnya.
“Kipas Mbak …?”
“Riko… kamu???”
Keterkejutan Anita semakin memuncak begitu menjumpai sosok penjual kipas itu tidak lain adalah Riko, teman sekelasnya.
“Nita, sendirian?” sapa Riko dengan tenang.
“Iya, ngapain kamu di sini?” tanya Anita keheranan.
Riko tersenyum simpul. Ia kemudian menjawab, “Seperti yang kamu lihat. Berjualan kipas. Kamu mau beli, kan?”
“Kamu tidak bercanda?” tanya Anita masih setengah tidak percaya.
“Tiga kali dalam seminggu aku berjualan kipas di kereta. Biasanya sepulang sekolah. Tapi kalau hari Minggu seperti sekarang bisa sejak pagi,” jelas Riko.
“Mengapa kamu melakukan semua ini?” tanya Anita tidak mengerti.
Beribu tanda tanya mengendap di benaknya. Sosok Riko yang dikenalnya pendiam itu tiba-tiba ia jumpai berjualan kipas. Tidak malukah dia?
“Demi membantu ibuku, mencari tambahan biaya SPP,” ungkapnya dengan polos.
“Ayahmu?” tanya Anita seperti sedang menginterogasi.
“Sudah meninggal sejak aku bayi …,” kenang Rio. “Bagaimana, jadi beli kipasku?”
Untuk sesaat Anita tercenung. Tak berapa lama kemudian ia pun tersenyum. Ia segera mengeluarkan selembar uang puluhan ribu lalu menyerahkannya pada Riko.
“Kembalinya buat kamu.”
“Terima kasih. Kamu simpan saja buat ditabung. Maaf, aku harus berjualan lagi.”
Riko berlalu meninggalkan Anita yang masih duduk termangu. Dalam hati, Anita merasa kagum terhadap Riko. Si Pendiam itu ternyata anak yang mandiri dan memiliki semangat juang dalam mengarungi hidup. Ah … Anita tiba-tiba merasa malu pada dirinya sendiri. Ia yang selalu ingin dianggap dewasa dan mandiri ternyata belum sepenuhnya benar. Justru ia mulai sadar, apa yang diucapkan teman-temannya memang benar adanya. Dirinya masih anak mama yang cengeng. Anita bisa merasakan itu. Bukankah ia sempat menangis dan tidak bisa tidur semalaman saat pertama kalinya tidur di rumah kos. Bahkan ia merengek pada papanya minta dibelikan guling buaya baru karena guling buaya miliknya tertinggal di rumahnya. Oh … Anita berulang kali mendesah panjang.
Kereta terus melaju. Setelah melewati dua stasiun kecil, akhirnya perjalanan Anita sampai sudah di tujuan. Rasa tegang dan kecemasan yang sempat ia rasakan hampir selama satu jam di kereta kini perlahan mulai sirna. Tiba-tiba, ringtone incoming allert di telepon genggamnya berdering.
“Halo, Paman di sebelah mana?”
Anita menebarkan pandangannya ke sekeliling ruang tunggu. Begitu pandangannya menemukan sosok yang dicarinya, ia pun berlari-lari kecil menuju ke sana.
“Nita, bagaimana kau baik-baik saja?” sambut Paman Anita.
“Alhamdulillah… Paman sudah sejak tadi menunggu?”
“Hampir lima belas menit. Ayo kita segera pulang. Bibi dan Erni sudah sejak tadi menunggumu.”
Keduanya berjalan menuju ke tempat parkir. Paman Anita segera mengemudikan Toyota Rush miliknya dengan kecepatan sedang, meninggalkan parkiran stasiun yang masih ramai dengan lalu lalang penumpang kereta. Sepanjang perjalanan menuju rumah pamannya, Anita masih memikirkan pertemuannya dengan Riko di atas kereta tadi.
“Kenapa diam saja, Nita? Kecapaian habis naik kereta ekonomi?” tanya pamannya diiringi derai tawa melihat Anita yang menatap kosong.
“Ah, Paman bercanda,” ucap Anita tersipu malu.
“Kamu sudah menang kan hari ini? Berani naik kereta api kelas ekonomi sendirian ke sini?” ledek pamannya lagi.
Anita terdiam. Ah … kemenangan itu baginya sekarang tidak ada artinya lagi dibandingkan keberanian dan kemandirian Riko dalam mengarungi riak-riak kehidupan ini. Sorot matanya menerawang jauh ke depan. Ia mulai tenggelam dalam lamunan dan lautan penyesalan. Betapa seragam putih abu-abu kebanggaannya belum menjanjikan apa-apa untuk sebuah kemandirian dan melepaskan gelarnya sebagai anak mama.
“Pukk …”
Paman Anita menepuk pundaknya.
“Kita sudah sampai.”
Anita tersadar dari lamunannya. Ia pun turun dari mobil mengikuti langkah kaki pamannya, meninggalkan bayang-bayang Riko yang terus bercokol di benaknya ***


Beji, Pasuruan, 8 Pebruari 2009